Pages

DISQUS

DISQUS
Subscribe:

Sabtu, 16 Juni 2012

catatan subuh 9




catatan ini berisi kisah anak
manusia di sudut negeri ini. Simak
yukk...
Selasa, 06 Maret 2012 – saya pulang
kantor rada “tenggo”, jadi sampai di
rumah jam 17.30-an, saya sempat
nonton acara “Orang-Orang
Pinggiran” di Trans7. Dada saya
sesak menyaksikannya, air mata
saya meleleh tanpa bisa ditahan,
tak mampu berkata-kata. Siti,
seorang bocah yatim yang ditinggal
mati ayahnya sejak usia 2 tahun.
Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari
sepulang sekolah Siti masih harus
berkeliling kampung menjajakan
bakso. Karena ia masih anak-anak,
tentu belum bisa mendorong
rombong bakso. Jadi bakso dan
kuahnya dimasukkan dalam termos
nasi yang sebenarnya terlalu besar
untuk anak seusianya. Termos
seukuran itu berisi kuah tentu
sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos,
tangan kiri menenteng ember
plastik hitam berisi mangkok-
mangkok, sendok kuah, dan
peralatan lain. Dengan terseok-seok
menenteng beban seberat itu, Siti
harus berjalan keluar masuk
kampung, terkadang jalanannya
menanjak naik. Kalau ada pembeli,
Siti akan meracik baksonya di
mangkok yang diletakkan di lantai.
Maklum ia tak punya meja.
Terkadang jika ada anak yang
membeli baksonya, Siti ingin bisa
ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa
hanya menelan ludah, menahan
keinginan itu. Setelah 4 jam
berkeliling, ia mendapat upah 2000
perak saja! Kalau baksonya tak
habis, upahnya hanya Rp. 1000,-
saja. Lembaran seribuan lusuh
berkali-kali digulung-gulungnya.
Sampai di rumah, Siti tak mendapati
siapapun. Ibunya jadi buruh
mencangkul lumpur di sawah milik
orang lain. Tak setiap hari ia
mendapat upah uang tunai.
Terkadang ia hanya dijanjikan jika
kelak panenan berhasil ia akan
mendapatkan bagi hasilnya. Setiap
hari kaki Ibunda Siti berlumur
lumpur sampai setinggi paha. Ia
hanya bisa berharap kelak panenan
benar-benar berhasil agar bisa
mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa makan
kangkung. Ia pergi ke rumah
tetangganya, mengetuk pintu dan
meminta ijin agar boleh mengambil
kangkung. Meski sebenarnya Siti
bisa saja langsung memetiknya, tapi
ia selalu ingat pesan Ibunya untuk
selalu minta ijin dulu pada
pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti
langsung berkubang di empang
untuk memetik kangkung, sebatas
kebutuhannya bersama Ibunya.
Petang hari Ibunya pulang. Siti
menyerahkan 2000 perak yang
didapatnya. Ia bangga bisa
membantu Ibunya. Lalu Ibunya
memasak kangkung hanya dengan
garam. Berdua mereka makan di
atas piring seng tua, sepiring nasi
tak penuh sepiring, dimakan berdua
hanya dengan kangkung dan
garam. Bahkan ikan asin pun tak
terbeli, kata Ibunda Siti.
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang
sekolah menenteng beban berat
keliling kampung, tiba di rumah tak
ada makanan. Kondisi rumahnya
pun hanya sepetak ruangan
berdinding kayu lapuk, atapnya
bocor sana-sini. Sama sekali tak
layak disebut rumah. Dengan
kondisi kelelahan, dia kesepian
sendiri menunggu Ibunya pulang
hingga petang hari.
Sering Siti mengatakan dirinya
kangen ayahnya. Ketika anak-anak
lain di kampung mendapat kiriman
uang dari ayah mereka yang
bekerja di kota, Siti suka bertanya
kapan ia dapat kiriman. Tapi kini Siti
sudah paham bahwa ayahnya
sudah wafat. Ia sering mengajak
Ibunya ke makam ayahnya, berdoa
disana. Makam ayahnya tak
bernisan, tak ada uang pembeli
nisan. Hanya sebatang kelapa
penanda itu makam ayah Siti.
Dengan rajin Siti menyapu sampah
yang nyaris menutupi makam
ayahnya. Disanalah Siti bersama
Ibunya sering menangis sembari
memanjatkan doa. Dalam doanya
Siti selalu memohon agar dberi
kesehatan supaya bisa tetap
sekolah dan mengaji. Keinginan Siti
sederhana saja : bisa beli sepatu dan
tas untuk dipakai sekolah sebab
miliknya sudah rusak.
Baksooo...baksoooo...suara siti
menawarkan baksonya..suaranya
bikin hati yg mendengarnya bagai
tersayat-sayat...
Kepikiran dengan konsidi Siti, dini
hari terbangun dari tidur saya buka
internet dan search situs Trans7
khususnya acara Orang-Orang
Pinggiran. Akhirnya saya dapatkan
alamat Siti di Kampung Cipendeuy,
Desa Cibereum, Cilangkahan, Banten
dan nomor contact person (Pak
Tono).
Usai sholat Subuh saya hubungi Pak
Tono, meski agak sulit bisa
tersambung. Beliau tinggal sekitar
50 km jauhnya dari kampung Siti.
Pak Tono-lah yang menghubungi
Trans7 agar mengangkat kisah
hidup Siti di acara OOP. Menurut
keterangan Pak Tono, keluarga itu
memang sangat miskin, Ibunda Siti
tak punya KTP. Pantas saja dia tak
terjangkau bantuan resmi
Pemerintah yang selalu
mengedepankan persyaratan
legalitas formal ketimbang fakta
kemiskinan itu sendiri. Pak Tono
bersedia menjemput saya di
Malimping, lalu bersama-sama
menuju rumah Siti, jika kita mau
memberikan bantuan. Pak Tono
berpesan jangan bawa mobil sedan
sebab tak bakal bisa masuk dengan
medan jalan yang berat.
Saya pun lalu menghubungi Rumah
Zakat kota Cilegon. Saya meminta
pihak Rumah Zakat sebagai aksi
“tanggap darurat” agar bisa
menyalurkan kornet Super Qurban
agar Siti dan Ibunya bisa makan
daging, setidaknya menyelamatkan
mereka dari ancaman gizi buruk.
Dari obrolan saya dengan Pengurus
Rumah Zakat, saya sampaikan
keinginan saya untuk memberi Siti
dan Ibunya “kail”. Memberi “ikan”
untuk tahap awal boleh-boleh saja,
tapi memberdayakan Ibunda Siti
agar bisa mandiri secara ekonomi
tentunya akan lebih bermanfaat
untuk jangka panjang. Saya berpikir
alangkah baiknya memberi modal
pada Ibunda Siti untuk berjualan
makanan dan buka warung bakso,
agar kedua ibu dan anak itu tidak
terpisah seharian. Siti juga tak perlu
berlelah-lelah seharian, dia bisa
bantu Ibunya berjualan sambil
belajar.
Mengingat untuk memberi “kail”
tentu butuh dana tak sedikit, pagi ini
saya menulis kisah Siti dan
memforward ke grup-grup BBM
yang ada di kontak BB saya. Juga
melalui Facebook. Alhamdulillah
sudah ada beberapa respon positif
dari beberapa teman saya. Bahkan
ada yang sudah tak sabar ingin
segera diajak ke Malimping untuk
menemui Siti dan memeluknya.
Bukan hanya bantuan berupa uang
yang saya kumpulkan, tapi jika ada
teman-teman yang punya putri
berusia 7-8 tahun, biasanya bajunya
cepat sesak meski masih bagus,
alangkah bermanfaat kalau
diberikan pada Siti.
Adapula teman yang menawarkan
jadi orang tua asuh Siti dan
mengajak Siti dan Ibunya tinggal di
rumahnya. Semua itu akan saya
sampaikan kepada Pak Tono dan
Ibunda Siti kalau saya bertemu
nanti. Saya menulis artikel ini bukan
ingin menjadikan Siti seperti Darsem,
TKW yang jadi milyarder mendadak
dan kemudian bermewah-mewah
dengan uang sumbangan donatur
pemirsa TV sehingga pemirsa
akhirnya mensomasi Darsem. Jika
permasalahan Siti telah teratasi
kelak, uang yang terkumpul akan
saya minta kepada Rumah Zakat
untuk disalurkan kepada Siti-Siti lain
yang saya yakin jumlahnya ada
beberapa di sekitar kampung Siti.
Mengetuk hati penguasa formal,
mungkin sudah tak banyak
membantu. Saya menulis shout
kepada Ibu Atut sebagai “Ratu”
penguasa Banten ketika kejadian
jembatan ala Indiana Jones
terekspose, tapi toh tak ada respon.
Di media massa juga tak ada
tanggapan dari Gubernur Banten
meski kisah itu sudah masuk
pemberitaan media massa
internasional. Tapi dengan melalui
grup BBM, Facebook dan
Kompasiana, saya yakin masih ada
orang-rang yang terketuk hatinya
untuk berbagi dan menolong.
Berikut saya tampilkan foto-foto Siti
yang saya ambil dari FB Orang-
Orang Pinggiran.
Semoga menyentuh hati nurani kita
semua.
#INFO
Jika ingin langsung bertemu Siti,
anda bisa menghubungi Pak Tono
yang akan mengantar ke lokasi
kampung Siti. No HP Pak Tono 0858
1378 8136, alamat lengkap :
Kampung Cibobos 02/05, Desa
Karangkamulyan, Kec. Cihara,
Kabupaten Lebak, Banten Selatan.

0 komentar:

Posting Komentar