Pages

DISQUS

DISQUS
Subscribe:

Minggu, 17 Juni 2012

catatan subuh 14


[TRIBUTE TO CATATAN SUBUH IDE KONYOL]
Siang hari itu cuaca memang sedang
tidak bersahabat, awan gelap yang
membentang luas di langit seolah-
olah ingin menelan bumi. Hingga
akhirnya tanpa diawali rintik-rintik,
tiba-tiba hujan yang begitu
derasnya segera turun membasahi
permukaan bumi.
Semua orang pun mulai terlihat
berlarian, mereka semua mencoba
mencari tempat untuk berteduh.
Mulai dari para pejalan kaki,
pedagang asongan hingga para
pengendara sepeda motor.
Termasuk seorang pemuda yang
berlari menuju sebuah halte bis
yang berada tidak jauh dari
tempatnya berdiri.
Selang berapa menit kemudian,
seorang anak kecil datang
menghampiri dan berkata, “Ojeg
payung, Om?” Sapa seorang anak
kecil dengan sopan namun sedikit
gemetar karena menahan dingin
akibat sekujur badannya yang
basah kuyup. Bahkan sesekali anak
kecil itu mengusap wajahnya yang
basah terkena air hujan.
Si pemuda yang ditanya hanya
membalas dengan sebuah
senyuman sambil menggelengkan
kepalanya. Hingga tiba-tiba pemuda
itu kemudian merogoh dan
mengambil selembar uang dari
dalam saku celananya. Anak kecil
itupun lantas dihampirinya.
“Om kebetulan memang ingin
berteduh dulu sambil nungguin
hujannya reda, tapi kamu mau kan
menerima pemberian Om?” ungkap
pemuda tersebut sambil
menyelipkan selembar uang tadi ke
tangan anak kecil tersebut.
Anak kecil tersebut hanya bisa diam
meski wajahnya terlihat bingung
karena melihat tingkah pemuda itu.
Bahkan belum habis rasa
penasarannya, tiba-tiba pemuda
tersebut kemudian memegang
pundaknya. “Kamu sekarang
sekolah kelas berapa? Dan
mengapa kamu gak bawa payung
juga? Nanti kalau kamu sakit
bagaimana?”.
Suara pemuda itu terdengar begitu
lembut dan dari sikapnya terlihat
bahwa pemuda tersebut mencoba
menunjukkan perhatian dan
sekaligus juga atas keprihatinannya.
Karena betapa tidak, melihat
seorang anak kecil yang lugu
dengan hanya membawa sebuah
payung yang digunakan sebagai
modal untuk menawarkan jasa
sewa payung disaat hujan yang
turun dengan begitu derasnya. Dan
sudah pasti saat payungnya
tersebut sedang digunakan oleh
pengguna jasanya, maka tubuh
anak tersebut akan basah kuyup
terkena hujan.
“Agung baru kelas tiga SD, Om.
Mumpung lagi hujan. Agung mau
cari duit buat bantuin Mbah. Kasian
kan Mbah udah tua tapi masih narik
becak. Ntar kalo Agung dapat duit,
kan bisa buat makan ama Mbah,
terus sisanya ditabung.” Jawaban
yang terungkap dari anak kecil
yang ternyata bernama Agung
tersebut memang sangat singkat,
namun sekaligus memilukan.
Agung terus memperhatikan
pemuda tersebut dengan wajah
penuh keheranan. Sementara
pemuda tersebut hanya mampu
menarik nafas karena terkesima
dan sekaligus kagum, karena
ternyata Agung sudah begitu
paham dengan permasalahan dan
keadaan ekonomi yang dialami oleh
Mbah-nya.
“Memangnya orangtua Agung
dimana?” tanya si pemuda itu
kembali. “Kata Mbah, Bapak udah
meninggal waktu Agung masih kecil,
terus Ibu sudah lama tinggal di
Pesantren dan Agung tinggal sama
Mbah. Tuh rumahnya disana, dekat
kok dari sini tinggal nyebrang.”
Agung menjawab sambil
menunjukkan telunjuknya ke arah
sebuah kawasan pemukiman padat
penduduk yang letaknya memang
tidak jauh dari tepian sungai
diseberang jalan tempat mereka
berteduh.
“Agung basah kuyup begini, tadi
sudah makan siang apa belum?”
tanya pemuda tersebut. “Belum Om,
tanggung nih mumpung masih
hujan. Agung mau cari duit dulu ya?”
jawab Agung kembali dan sekaligus
meminta izin untuk pamit kepada
pemuda tersebut.
Namun tiba-tiba pemuda tersebut
meraih tangan Agung. “Bagaimana
kalau Agung menemani Om makan,
kebetulan Om juga belum makan.
Ada rumah makan tuh dekat sini,
bagaimana kalu kita makan disana
dulu?” pinta si pemuda itu kepada
Agung.
“Agung emang lapar Om. Tapi
Agung kan dah dikasih duit, masa’
pake harus diajak makan segala.
Om kan gak ojeg payung Agung.
Gak enak ah ngerepotin Om.” jawab
Agung sambil berusaha menghindar.
“Oh begitu. Bagaimana kalau uang
tadi adalah adalah sebagai imbalan
karena Agung dah mau makan
bareng Om, kan kita bisa sambil
ngobrol.”
Ungkap pemuda itu untuk
meyakinkan Agung dan yang
dilanjutkan dengan
memperkenalkan dirinya. Akhirnya
Agung pun bersedia untuk diajak
makan, ditambah lagi dengan
tangan kanannya yang saat itu
sedang memegang perut. Sebuah
isyarat bahwa Agung memang
sedang menahan rasa laparnya.
Sambil tangannya menuntun Agung
dan membawa payung, mereka
kemudian bergegas berlari menuju
sebuah rumah makan yang
letaknya berada tidak jauh dari
halte bis. Meskipun pada awalnya
Agung dilarang masuk oleh petugas
satpam rumah makan tersebut
karena tidak menggunakan alas
kaki.
Bahkan Agung sempat dianggap
sebagai pengemis, sehingga
membuat si pemuda itu segera
menghampiri petugas satpam
tersebut. Dan setelah terjadi
pembicaraan, akhirnya petugas
satpam tersebut mempersilahkan
mereka masuk dan menempati
sebuah tempat yang cukup tenang
untuk mereka berdua.
Meskipun banyak mata yang
memandang saat keduanya
memasuki rumah makan tersebut,
namun pemuda tersebut meminta
Agung untuk tidak mempedulikan
pandangan dan perkataan mereka
terhadap Agung.
Setelah mereka memesan makanan
dan minuman, keduanya pun
makan bersama sambil sesekali si
pemuda itu tertawa melihat Agung
yang sedemikian lahapnya. Karena
menurut penuturan Agung, menu
yang disantapnya itu sudah sangat
istimewa sekali.
Sepiring nasi, semangkuk sop
kambing yang masih hangat,
sepiring sate kambing, segelas teh
manis hangat dan ditambah segelas
juice buah kesukaannya terlihat
berada dihadapan Agung dan siap
untuk disantap. Menu tersebut
sepertinya merupakan impian yang
memang sangat jarang sekali untuk
dapat dirasakannya.
Sungguh Agung terlihat begitu
menikmati hidangan yang
dipilihnya, bahkan sesekali dari
mulutnya terdengar dia
bersendawa. Usai mereka berdua
selesai menyantap hidangan, si
pemuda tersebut kemudian
bertanya kepada Agung.
“Tadi Agung bilang, Ibu lagi belajar
di Pesantren, di Pesantren mana?”.
Setelah meminum teh hangatnya,
Agung pun menjawab pertanyaan
seputar tentang Ibunya, dan
akhirnya dari sebuah jawaban yang
singkat dan polos dari mulut Agung
inilah, maka terkuaklah serangkaian
kisah yang sungguh harus dipahami
dari dan oleh hati.
“Ibu belajar di Pesantren, jauh
banget tempatnya, terus tembok
pagarnya aja tinggi. Ibu pernah
bilang, kalo Ibu gak boleh keluar
dari pesantrennya kalo belum
selesai belajar. Agung ama Mbah
pernah ketemu Ibu, tapi ada Ibu-Ibu
yang pake seragam yang manggil
Ibu pake speaker yang suaranya
gede banget. Kalo Agung tanya, Ibu
cuma bilang kalo kamar Ibu jauh.
Baju Ibu di pesantren juga bagus,
sama kaya’ temen-temennya.
Malah disininya ada gambar kaya’
di kertasnya Om tuh.”
Agung menjawab sambil
menjelaskan bahwa posisi gambar
tersebut berada di sebelah dada
bagian kiri seragam ibunya, dan
sekaligus menunjuk logo yang
tertera di amplop surat dinas
berwarna coklat.
Entah mengapa tiba-tiba amplop
surat dinas itu terselip keluar dari
balik tas milik pemuda tersebut. Dan
ternyata gambar yang dimaksud
Agung tersebut adalah logo dari
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Namun belum selesai pemuda itu
tertegun, Agung kembali
menjelaskan.
“Kalo mau ketemu Ibu, Agung cuma
bisa ketemu sebentar doang.
Padahal Agung pengen banget tidur
ditemenin ama Ibu, Agung kan juga
kangen. Tapi Ibu bilang kalo Agung
gak boleh masuk ke kamarnya.
Terus kalo tiap Agung mau pulang.
Agung cuma bisa lihat Ibu dari
pagar.”
“Jendela kamarnya lucu ada besi-
besi segala, kayak penjara. Kata
Ibu, itu supaya gak ada binatang
masuk ke dalam. Agung kan gak
bisa dibohongin, soalnya kucing aja
sih masih bisa lewat. Agung juga
pernah dikasih tau ama Mbah, kalo
nanti Ibu juga bakal pulang ke
rumah lagi kok. Bilangnya sih habis
lebaran, gak tau lebaran kapan.”
Dari cerita Agung tersebut sudah
cukup menjelaskan, bahwa Ibunya
adalah seorang warga binaan yang
masih menjalani masa hukuman di
sebuah Lapas. Sebuah jawaban
yang cukup memilukan bagi yang
mendengar dan merasakannya.
Sungguh Agung belum mengetahui
atas keadaan yang sesungguhnya.
Namun demi menjaga kestabilan
jiwa dan mental dari Agung, maka
pemuda itu mengambil keputusan
untuk tidak menjelaskan pada
Agung atas apa yang sebenarnya
terjadi pada Ibunya.
“Agung pernah nanya kenapa Ibu
harus tinggal di Pesantren itu?”
tanya si pemuda sambil
mengambilkan segelas juice buah
kesukaannya dan segelas teh manis
hangat untuk Agung yang terlihat
haus karena banyak bercerita.
“Pernah Om. Kata Ibu, Ibu disana
lagi belajar mengenal sama
mencintai Allah, aneh kan Om?
Agung aja di sekolah cuma ada
pelajaran agama. Masa’ Ibu kayak
di sinetron, ada belajar cinta segala.
Agung juga pernah nanya ke Ibu,
emangnya Ibu gak pernah kenal
Allah sampe harus masuk Pesantren
dulu? Emangnya Ibu gak cinta
Allah?”
“Ibu suka nangis kalo ditanyain
kaya’ gitu sama Agung. Ibu juga
pernah bilang kalo Ibu harus lulus
dulu dari Pesantren kalo mau pulang
ke rumah.” jawab Agung sambil
memilih segelas teh manis hangat.
Si pemuda tersebut hanya berusaha
tersenyum, kemudian bertanya
kembali kepada Agung. “Agung
sayang gak sama Ibu? Terus kalau
Agung sayang caranya
Bagaimana?”
Mendengar pertanyaan itu, Agung
terdiam dan terlihat wajahnya
mendadak dirundukkan, sepertinya
dia sedang berusaha mengatur
perasaan di dalam hatinya saat itu.
“Agung sayang Ibu, sayang banget.
Agung kadang suka ngiri kalo liat
temen-temen Agung ke sekolah
dianterin terus ditungguin sama
Ibunya, apalagi kalo pas ambil
rapot, pasti Ibunya yang nemenin.
Kalo Agung cuma ditemenin sama
Mbah tiap mau sekolah. Itu juga
kalo mau berangkat do’ang. Mbah
emang gak bisa tiap hari ngaterin
Agung, soalnya kan Mbah suka
diminta tetangga buat bawain
dagangan sayur ke pasar.”
“Agung juga dulu pernah disetrap
sama Bu guru gara-gara Agung
mukul temen. Habisnya temen
Agung bilang kalo Ibu Agung itu lagi
ada penjara, padahal kan dah
Agung bilangin kalo Ibu Agung lagi
belajar di Pesantren. Tapi Mbah
bilang Agung harus sabar dan rajin
sholat kalo mao ketemu dan
kumpul ama Ibu lagi.”
“Agung juga suka mimpi liat Ibu lagi
nangis, Agung jadi sedih
ngebayanginnya tapi soalnya
emang suka keingetan ama Ibu.
Kalo Agung lagi kangen, Agung
cuma bisa berdo’a sama Allah.
Agung sayang Ibu, tapi Agung juga
gak mau lihat Ibu nangis lagi.
Makanya Agung janji sama Ibu mau
rajin sholat, ngaji dan do’ain Ibu.”
“Agung juga gak mau kalah sama
Ibu belajar ngaji, tapi Agung baru
sampe Iqro empat. Agung paling
seneng kalo denger Ibu lagi ngaji,
suaranya enak dan bikin Agung
sampe ketiduran.”
“Makanya Agung mau terus belajar
ngaji. Ibu juga minta nanti kalo
Agung udah gede, supaya bisa
ngajarin orang ngaji. Kan Ibu disana
juga suka ngajarin ngaji temen-
temennya. Malah temen Ibu ada
yang bilang, kalo Ibu dulu pernah
juara lomba ngaji.”
Agung bercerita dengan gayanya
yang begitu lugu, hingga kemudian
Agung tampak terdiam sejenak, dan
akhirnya kemudian terungkaplah isi
hati Agung yang sesungguhnya.
“Om, kok Agung jadi kangen sama
Ibu ya?” Suasana saat itu langsung
hening seketika, seiring hujan yang
mulai mereda. Namun saat itu
terlihat sepasang mata Agung mulai
mengeluarkan linangan air mata,
hingga kemudian terdengar suara
tangisannya sambil sesekali
terdengar suara segukannya.
Tanpa peduli dengan orang-orang
yang berada disekeliling tempat
mereka berada, Agung kemudian
menghampiri dan langsung
memeluk pemuda itu dan bahkan
kian menangis. Sungguh suara
tangisnya seperti layaknya tangis
seorang anak yang begitu ingin
memeluk orangtuanya.
Tangisannya yang sangat
memilukan itu mengisyaratkan
bahwa jauh di dalam lubuk hatinya,
Agung sangat sangat merindukan
kehadiran sosok orangtuanya, Ibu
tercintanya.
Agung memeluk pemuda itu
dengan begitu eratnya, seolah-olah
pelukan itu tak ingin dilepaskannya.
Hingga setelah beberapa saat
Agung melampiaskan
kesedihannya, Agung pun kemudian
menyeka air mata di wajahnya
dengan kedua tangannya.
“Kata Ibu, Agung harus jadi laki-laki
yang berani, gak boleh cengeng.
Tapi Agung dah bohongin Ibu,
Agung tadi malah nangis. Agung
kangen Ibu, Om.” ungkap Agung
seraya mengeringkan wajahnya
yang basah terkena linangan air
matanya.
Pemuda tersebut kemudian
menyampaikan sesuatu kepada
Agung, “Jika Agung kangen sama
Ibu, Om akan mengajarkan cara lain
untuk menyampaikan rasa kangen
Agung. Sebentar lagi kan adzan
Ashar, bagaimana kalau kita sholat
dulu?” jelas pemuda tersebut sambil
bertanya dan sekaligus mengajak
Agung untuk menunaikan
sholat.“Agung gak bawa sarung,
baju Agung aja belum kering.” jawab
Agung menimpali.
“Soal itu jangan dipikirin, Agung ikut
Om sebentar.” lanjut pemuda itu
menjawab beban pikiran Agung.
Dan akhirnya keduanya
meninggalkan rumah makan itu
untuk kemudian pergi menuju
sebuah toko pakaian muslim yang
berada di pasar di tengah kota.
Ternyata pemuda tersebut
kemudian membelikan sepasang
pakaian muslim beserta sebuah
sarung dan kopiah yang cocok
untuk ukuran anak-anak, serta
sebuah sandal karena saat itu
Agung memang sedang tidak
memakai alas kaki.
Setelah itu mereka kemudian
segera menuju sebuah Masjid yang
letaknya di tengah kota dan tidak
jauh dari tempat mereka berada. Di
Masjid itu kemudian Agung
mengganti pakaian lamanya
dengan pakaian yang baru untuk
sholat.
Dan tidak seperti anak-anak
sebayanya yang sedang sholat di
Masjid itu sambil bercanda. Agung
terlihat begitu khusyu dalam
sholatnya bahkan tidak terganggu
dengan suara ribut anak-anak kecil
sebayanya yang tengah bermain
disekelilingnya. Hingga setelah
sholat berjama’ah terlihatlah bahwa
dalam keadaan wajahnya yang
sedang merunduk, ternyata
wajahnya telah dibasahi oleh
tetesan air matanya.
Perlahan-lahan pemuda itu
mendekati Agung dan mencoba
untuk turut mendengarkan do’a
yang sedang dipanjatkan oleh anak
itu. Do’a yang mungkin sangat
sederhana namun sangat berat
dengan makna bagi yang
mendengarkannya, dan sekaligus
do’a yang mampu menguras air
mata bagi yang dapat
merasakannya.
“Ya Allah. Maafin Agung, hari ini
Agung nangis lagi. Soalnya Agung
emang sayang ama Ibu, dan Agung
juga kangen ama Ibu. Agung gak
tahu kapan bisa ketemu Ibu lagi,
Agung cuma mau Ibu bisa cepat
lulus dari Pesantren supaya bisa
kumpul lagi. Agung juga mau kaya’
Ibu, bisa belajar kenal dan cinta ama
Allah.”
“Tapi Agung mau Ibu yang
ngajarinnya. Tapi kalo Ibu masih
lama belajar di Pesantren, Agung
janji mau sabar nungguin Ibu. Agung
juga janji nurut sama Mbah, gak
berantem lagi ama temen di
sekolah. Agung cuma mau jagain
dan senengin Ibu sampai tua. Agung
emang sekarang masih kecil,
makanya tolong titip Ibu ya? Tolong
kabulkan do’a Agung, Ya Allah.”
Usai Agung berdo’a, tampak hujan
do’a dan air mata sangat terasa
seiring kesedihan yang melekat
pada diri Agung saat itu. Ada
kenikmatan tersendiri saat anak itu
berdo’a dengan sepenuh hati dan
keyakinannya. Meskipun
serangkaian do’a itu tiada terlihat
indah jika dibandingkan dengan
serangkaian kata-kata yang biasa
dipanjatkan oleh orang dewasa.
Namun serangkaian do’a yang
dipanjatkan anak itu mempunyai
sebuah kekuatan dan mampu
menggetarkan dan meluluhkan
siapapun orang yang di dalam
hatinya mengakui akan kebesaran
dan keagungan Tuhan.
Pertemuan mereka berdua
memang singkat, namun memang
sudah diatur oleh Allah. Menjelang
perpisahan, pemuda itu
mengeluarkan dari tasnya sebuah
buku kecil mengenai cara
menghafal Asmaa’ul Husna dan
sekaligus buku Iqro dan Juz ‘Ama.
Wajah Agung terlihat begitu senang
saat menerimanya, karena Agung
memang sudah sangat berharap
untuk bisa memilikinya.
Begitu mereka keluar dari halaman
Masjid, pemuda itu pun
mengantarkan Agung hingga ke
depan rumahnya yang berada di
ujung sebuah gang. Rumah yang
sangat sederhana, bahkan beberapa
tiang terasnya pun sudah terlihat
lapuk karena dimakan rayap.
Berlantaikan plesteran dan bahkan
disetiap kaca jendelanya pun hanya
menggunakan lembaran koran
yang mulai tampak lusuh dan
ditempel sebagai pengganti tirai.
Sungguh sebuah pemandangan
yang akan membuat hati siapapun
yang memandangnya seperti teriris.
Hanya tampak sebuah kasur yang
beralaskan selembar tikar untuk
tempat tidur Agung dan Mbah-nya.
Lemari untuk buku dan baju milik
Agung pun dibuat dari bekas papan
peti kemas yang dirangkai
seadanya.
Namun diantara sekian barang-
barang yang mengisi ruang tamu
sekaligus ruang tidur Agung dan
Mbah-nya, hanya sepasang ukiran
berlafadzkan Allah dan Rasulullah
yang terlihat sangat terawat dan
terpampang serta sebuah kertas
stiker berwarna bertuliskan
“Rumahku adalah Istanaku.”
Member yang baik, Agung hanyalah
contoh yang mewakili banyak anak
yang harus menerima kenyataan,
dan sekaligus menjalani keadaan
dari perjalanan sebuah keluarga
yang bermasalah dengan hukum.
Agung adalah anak yang
diibaratkan bagai selembar kertas
yang berwarna putih, menunggu
tulisan terindah untuk masa
depannya dari kedua orangtuanya.
Agung hanyalah seorang anak yang
tiada berdaya dalam menjalani
hidupnya, namun nasehat dan
ketegaran yang dicontohkan oleh
orangtuanya yang meskipun
sedang menjalani sebuah masa
hukuman di dalam Lapas, namun
telah membuatnya menjadi anak
yang dapat bertahan hidup
menghadapi ganasnya lingkungan.
Karena Agung dan anak-anak
lainnya dari orangtua yang sedang
berada di dalam Lapas adalah
amanah yang telah dititipkan oleh
Allah melalui kedua orangtuanya.
Dan kelak Allah akan meminta
pertanggung jawaban kedua
orangtua atas amanah yang telah
mereka terima.
Namun Agung dan mungkin anak-
anak lain yang senasib dengannya
masih mempunyai keyakinan atas
sebuah harapan. Bahwa kelak

apabila kedua orangtuanya telah
berkumpul kembali, maka ada
sebuah rangkaian cerita indah yang
akan menemani keseharian dalam
sisa rangkaian perjalanan hidup
mereka.
Serangkaian cerita yang
menjelaskan akan keagungan Allah
dan seluruh alam semesta binaan-
Nya. Cerita tentang janji-Nya yang
senantiasa diberikan kepada
hamba-hamba-Nya yang begitu
ingin kembali ke jalan-Nya, cerita
tentang limpahan ampunan dan
cinta-Nya.
Pecinta Catatan Subuh yg bijak,
Kisah ini akhirnya menjadi pijakan
awal dan sekaligus sebagai inspirasi
dan motivasi saya, bahwa ternyata
begitu banyak ladang amal yang
terlah disediakan Allah bagi mereka
yang menjadikan amanah sebagai
sebuah pengabdian dan bukan
dijadikan sebagai beban. Karena
saya meyakini bahwa kisah yang
terjadi dengan cara yang bukan
kebetulan ini adalah merupakan
sebuah bukti nyata bahwa
sesungguhnya Allah memang tidak
pernah buta atas apa yang kita
lakukan dan Allah juga memang
tidak pernah tuli atas munajat do’a
yang kita panjatkan disaat kita
senantiasa melibatkan-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar