Pages

DISQUS

DISQUS
Subscribe:

Sabtu, 16 Juni 2012

catatan subuh 7



[TRIBUTE TO CATATAN SUBUH IDE KONYOL]
Kisah ini
berisi obrolan singkat dengan
seorang wanita yg baru kutemui.
Sore itu sembari menunggu
kedatangan teman yang akan
menjemputku di masjid ini seusai
ashar. Kulihat seseorang yang
berpakaian rapi, berjilbab dan
tertutup sedang duduk disamping
masjid. Kelihatannya ia sedang
menunggu seseorang juga. Aku
mencoba menegurnya dan duduk
disampingnya, mengucapkan salam,
sembari berkenalan.
Dan akhirnya pembicaraan sampai
pula pada pertanyaan itu. “Anti
sudah menikah?”.
“Belum ”, jawabku datar.
Kemudian wanita berjubah panjang
(Akhwat) itu bertanya lagi
“kenapa?”
Pertanyaan yang hanya bisa ku
jawab dengan senyuman. Ingin
kujawab karena masih hendak
melanjutkan pendidikan, tapi
rasanya itu bukan alasan.
“Mbak menunggu siapa?” aku
mencoba bertanya.
“Menunggu suami” jawabnya
pendek.
Aku melihat kesamping kirinya,
sebuah tas laptop dan sebuah tas
besar lagi yang tak bisa kutebak
apa isinya. Dalam hati bertanya-
tanya, dari mana mbak ini?
Sepertinya wanita karir. Akhirnya
kuberanikan juga untuk bertanya
“Mbak kerja di mana?”
Entah keyakinan apa yang
membuatku demikian yakin jika
mbak ini memang seorang wanita
pekerja, padahal setahu ku, akhwat-
akhwat seperti ini kebanyakan
hanya mengabdi sebagai ibu rumah
tangga.
“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya
resmi tidak bekerja lagi” jawabnya
dengan wajah yang aneh
menurutku, wajah yang bersinar
dengan ketulusan hati.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
Dia hanya tersenyum dan
menjawab “karena inilah PINTU
AWAL kita wanita karir yang bisa
membuat kita lebih hormat pada
suami” jawabnya tegas.
Aku berfikir sejenak, apa
hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia
hanya tersenyum.
Saudariku, boleh saya cerita sedikit?
Dan saya berharap ini bisa menjadi
pelajaran berharga buat kita para
wanita yang Insya Allah hanya ingin
didatangi oleh laki-laki yang baik-
baik dan sholeh saja.
“Saya bekerja di kantor, mungkin
tak perlu saya sebutkan nama
kantornya. Gaji saya 7 juta/bulan.
Suami saya bekerja sebagai penjual
roti bakar di pagi hari dan es cendol
di siang hari. Kami menikah baru 3
bulan, dan kemarinlah untuk
pertama kalinya saya menangis
karena merasa durhaka padanya.
Kamu tahu kenapa ?
Waktu itu jam 7 malam, suami saya
menjemput saya dari kantor, hari ini
lembur, biasanya sore jam 3 sudah
pulang. Setibanya dirumah, mungkin
hanya istirahat yang terlintas
dibenak kami wanita karir. Ya, Saya
akui saya sungguh capek sekali
ukhty. Dan kebetulan saat itu suami
juga bilang jika dia masuk angin dan
kepalanya pusing. Celakanya rasa
pusing itu juga menyerang saya.
Berbeda dengan saya, suami saya
hanya minta diambilkan air putih
untuk minum, tapi saya malah
berkata, “abi, umi pusing nih, ambil
sendiri lah !!”.
Pusing membuat saya tertidur
hingga lupa sholat isya. Jam 23.30
saya terbangun dan cepat-cepat
sholat, Alhamdulillah pusing pun
telah hilang. Beranjak dari sajadah,
saya melihat suami saya tidur
dengan pulasnya.
Menuju ke dapur, saya liat semua
piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi
yang bukan mencucinya kalo bukan
suami saya (kami memang
berkomitmen untuk tidak memiliki
khodimah)? Terlihat lagi semua baju
kotor telah di cuci. Astagfirullah,
kenapa abi mengerjakan semua ini?
Bukankah abi juga pusing tadi
malam? Saya segera masuk lagi ke
kamar, berharap abi sadar dan mau
menjelaskannya, tapi rasanya abi
terlalu lelah, hingga tak sadar juga.
Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya,
saya pegang wajah suami saya itu,
ya Allah panas sekali pipinya,
keningnya, Masya Allah, abi
demam, tinggi sekali panasnya.
Saya teringat perkataan terakhir
saya pada suami tadi. Hanya
disuruh mengambilkan air putih saja
saya membantahnya. Air mata ini
menetes, air mata karena telah
melupakan hak-hak suami saya.”
Subhanallah, aku melihat mbak ini
cerita dengan semangatnya,
membuat hati ini merinding. Dan
kulihat juga ada tetesan air mata
yang di usapnya.
“Kamu tahu berapa gaji suami
saya? Sangat berbeda jauh dengan
gaji saya. Sekitar 600-700 rb/bulan.
Sepersepuluh dari gaji saya sebulan.
Malam itu saya benar-benar merasa
sangat durhaka pada suami saya.
Dengan gaji yang saya miliki, saya
merasa tak perlu meminta nafkah
pada suami, meskipun suami selalu
memberikan hasil jualannya itu
pada saya dengan ikhlas dari lubuk
hatinya. Setiap kali memberikan
hasil jualannya, ia selalu berkata
“Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah.
Di ambil ya. Buat keperluan kita.
Dan tidak banyak jumlahnya,
mudah-mudahan Umi ridho”,
begitulah katanya. Saat itu saya
baru merasakan dalamnya kata-
kata itu. Betapa harta ini membuat
saya sombong dan durhaka pada
nafkah yang diberikan suami saya,
dan saya yakin hampir tidak ada
wanita karir yang selamat dari
fitnah ini”
“Alhamdulillah saya sekarang
memutuskan untuk berhenti
bekerja, mudah-mudahan dengan
jalan ini, saya lebih bisa menghargai
nafkah yang diberikan suami.
Wanita itu sering begitu susah jika
tanpa harta, dan karena harta juga
wanita sering lupa kodratnya"
Lanjutnya lagi, tak memberikan
kesempatan bagiku untuk berbicara.
“Beberapa hari yang lalu, saya
berkunjung ke rumah orang tua,
dan menceritakan niat saya ini.
Saya sedih, karena orang tua, dan
saudara-saudara saya justru tidak
ada yang mendukung niat saya
untuk berhenti berkerja. Sesuai
dugaan saya, mereka malah
membanding-bandingkan pekerjaan
suami saya dengan yang lain.”
Aku masih terdiam, bisu mendengar
keluh kesahnya. Subhanallah, apa
aku bisa seperti dia? Menerima
sosok pangeran apa adanya,
bahkan rela meninggalkan
pekerjaan.
“Kak, bukankah kita harus
memikirkan masa depan ? Kita
kerja juga kan untuk anak-anak kita
kak. Biaya hidup sekarang ini mahal.
Begitu banyak orang yang butuh
pekerjaan. Nah kakak malah
pengen berhenti kerja. Suami kakak
pun penghasilannya kurang.
Mending kalo suami kakak
pengusaha kaya, bolehlah kita
santai-santai aja di rumah.
Salah kakak juga sih, kalo mau jadi
ibu rumah tangga, seharusnya nikah
sama yang kaya. Sama dokter
muda itu yang berniat melamar
kakak duluan sebelum sama yang
ini. Tapi kakak lebih milih nikah
sama orang yang belum jelas
pekerjaannya. Dari 4 orang anak
bapak, Cuma suami kakak yang
tidak punya penghasilan tetap dan
yang paling buat kami kesal,
sepertinya suami kakak itu lebih
suka hidup seperti ini, ditawarin
kerja di bank oleh saudara sendiri
yang ingin membantupun tak mau,
sampai heran aku, apa maunya
suami kakak itu”. Ceritanya kembali
mengalir, menceritakan ucapan adik
perempuannya saat dimintai
pendapat.
“anti tau, saya hanya bisa menangis
saat itu. Saya menangis bukan
karena apa yang dikatakan adik
saya itu benar, Demi Allah bukan
karena itu. Tapi saya menangis
karena imam saya sudah
DIPANDANG RENDAH olehnya.
Bagaimana mungkin dia
meremehkan setiap tetes keringat
suami saya, padahal dengan
tetesan keringat itu, Allah
memandangnya mulia ?
Bagaimana mungkin dia menghina
orang yang senantiasa
membangunkan saya untuk sujud
dimalam hari ?
Bagaimana mungkin dia menghina
orang yang dengan kata-kata
lembutnya selalu menenangkan
hati saya ?
Bagaimana mungkin dia menghina
orang yang berani datang pada
orang tua saya untuk melamar
saya, padahal saat itu orang
tersebut belum mempunyai
pekerjaan ?
Bagaimana mungkin seseorang
yang begitu saya muliakan,
ternyata begitu rendah di
hadapannya hanya karena sebuah
pekerjaaan ?
Saya memutuskan berhenti bekerja,
karena tak ingin melihat orang
membanding-bandingkan gaji saya
dengan gaji suami saya.
Saya memutuskan berhenti bekerja
juga untuk menghargai nafkah
yang diberikan suami saya.
Saya juga memutuskan berhenti
bekerja untuk memenuhi hak-hak
suami saya.
Saya berharap dengan begitu saya
tak lagi membantah perintah suami
saya. Mudah-mudahan saya juga
ridho atas besarnya nafkah itu.
Saya bangga dengan pekerjaan
suami saya ukhty, sangat bangga,
bahkan begitu menghormati
pekerjaannya, karena tak semua
orang punya keberanian dengan
pekerjaan seperti itu.
Disaat kebanyakan orang lebih
memilih jadi pengangguran dari
pada melakukan pekerjaan yang
seperti itu. Tetapi suami saya, tak
ada rasa malu baginya untuk
menafkahi istri dengan nafkah yang
halal. Itulah yang membuat saya
begitu bangga pada suami saya.
Suatu saat jika anti mendapatkan
suami seperti suami saya, anti tak
perlu malu untuk menceritakannya
pekerjaan suami anti pada orang
lain. Bukan masalah pekerjaannya
ukhty, tapi masalah halalnya,
berkahnya, dan kita memohon
pada Allah, semoga Allah
menjauhkan suami kita dari rizki
yang haram”. Ucapnya terakhir,
sambil tersenyum manis padaku.
Mengambil tas laptopnya, bergegas
ingin meninggalkanku.
Kulihat dari kejauhan seorang laki-
laki dengan menggunakan sepeda
motor butut mendekat ke arah
kami, wajahnya ditutupi kaca helm,
meskipun tak ada niatku menatap
mukanya. Sambil mengucapkan
salam, wanita itu meninggalkanku.
Wajah itu tenang sekali, wajah
seorang istri yang begitu ridho.
Ya Allah….
Sekarang giliran aku yang
menangis. Sahabat Pecinta catatan
Subuh, Hari ini aku dapat pelajaran
paling berkesan dalam hidupku.
Pelajaran yang membuatku
menghapus sosok pangeran kaya
yang ada dalam benakku..
Subhanallah.. Walhamdulillah.. Wa
Laa ilaaha illallah... Allahu Akbar
Semoga pekerjaan, harta dan
kekayaan tak pernah
menghalangimu untuk tidak
menerima pinangan dari laki-laki
yang baik agamanya.

0 komentar:

Posting Komentar